ANYYALA
Pengertian Annyala
Anyala dalam terminologi Makassar
diartikan sebagai ‘kebersalahan’. Biasa kita mendengar ucapan, ‘ anjo bura’ne
annyala’ (itu lelaki bersalah) atau ‘anjo baine annyala’ (itu perempuan
bersalah), maka yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah kebersalahan dalam
konteks perkawinan. Karena itu, biasanya pula orang tua kita yang mendengarkan
perkataan seperti itu, tidak lantas meneruskan pertanyaannya karena sangat
sadar bahwa kalimat tersebut didalamnya mengandung konsekuensi rasa malu dan
taruhan harga diri / Siri’ (http://daenggassing.com diakses pada tanggal 12 november
2012).
Proses perkawinan yang mengandung
rasa malu dan taruhan harga diri adalah proses perkawinan yang terjadi karena
‘nipakatianang’ (hamil sebelum nikah). Keadaan demikian ini dapat menimbulkan
dan memungkinkan, yaitu : kawin secara adat dan annyala (http://daenggassing.com diakses pada tanggal 12 november
2012).
Kawin secara adat terlaksana
apabila kehamilan si perempuan (tau-nipakatiananga) belum tersebar, tapi baru
diketahui ibu dan kerabat ibu yang terdekat sehingga mereka ini secara rahasia
(tidak diketahui oleh tu-masirik
perempuan yang hamil) menghubungi keluarga tumapakasiri’agar
dalam waktu singkat perkawinan dapat dilansungkan melalui prosedur yang biasa.
Kedua belah pihak berusaha menutupi dan melindungi rahasia demi nama baik kedua
keluarga. Bilamana perkawinan secara adat tidak terlaksana, maka terjadi
prosedur yang sama dengan Annyala, dimana
keadaan perempuan telah menyedihkan karena si lelaki tidak bertanggung jawab /
menghilang. Si perempuan yang berlindung kepada imam atau kadhi dinikahkan
dengan seorang lelaki yang niatnya darurat. Lelaki yang menikahi seorang perempuan
karena terlebih dahulu hamil yang sebelumnya tidak ada hubungan di sebut kawin pattongkok sirik (kawin penutup malu, si
perempuan yang bernasib sial ini oleh orang tuanya / kerabatnya “nimateammi” / dianggap sudah mati (http://daenggassing.com diakses pada tanggal 12 november
2012).
Dalam pandangan adat, anak yang
dilahirkan kelak disebut ana’bule (anak
haram jadah). Anak ini bila hidup sampai dewasa sangat sulit kehidupannya dalam
masyarakat karena seolah – olah dialah yang harus menanggung segala kesalahan
dan dosa orang tuanya. Hal ini berbeda dalam pandangan agama, bahwa si anak
tidaklah berdosa sama sekali, tidak pula mewarisi dosa orang tuanya, setiap
anak terlahir dalam keadaan suci, orang tuanyah sendir yang menanggung dosa
yang telah diperbuatnya (http://daenggassing.com diakses pada tanggal 12 november
2012).
Macam – macam
Annyala
Dalam
pandangan adat. Annyala (kebersalahan
dalam perkawinan) dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu:
a.
Sillariang
Sillariang ialah
dua orang yang saling mencintai, sama – sama lari dari keluarganya pada
masyarakat Bugis – Makassar, kawin lari (sillariang)
merupakan hal yang tidak direstui bahkan menjadi aib dalam masyarakat.
Terjadinya kawin lari biasanya dikarenakan uang belanja perkawinan (maskawin/ Sunrang) yang ditentukan oleh pihak
keluarga si gadis terlampau tinggi, biasa juga terjadi karena keluarga sigadis
tidak menyetujui pihak keluarga laki – laki, baik calon menantunya maupun calon
besannya, misalnya karena perbedaan status sosial. Walaupun kedua pasangan sillariang ini menyadari, bahwa tindakan
sillariang ini penuh dengan resiko,
tetapi itulah jalan terbaik baginya untuk menimbah rumah tangga dengan
kekasihnya kelak (Zainuddin,Ridwan.2005:1)
Untuk mengetahui
jelas apa arti sillariang ini akan
dikemukakan beberapa pendapat ahli budaya, baik dalam maupun luar negeri
(Zainuddin,Ridwan.2005:1).
Dr.T.H Chabot dalam
bukunya Verwatenschap Standen Sexe in
Zuid Celebes mengatakan, Perkawinan sillariang
ketika gadis / perempuan dengan
pemuda / laki – laki lari bersama atas kehendak bersama
(Zainuddin,Ridwan.2005:1).
Dari pendapat para
pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa Sillariang
itu unsur – unsurnya sebagai berikut :
1.
Dilakukan
sepasang laki – laki dan perempuan
2.
Sepakat
lari bersama untuk nikah
3.
Menimbulkan
Siri’ dan dikenakan sanksi
b.
Nillariang
Kalau
perkawinan sillariang dilakukan dengan kehendak bersama dari kedua
pelaku maka pada kawin nillariang dilakukan atas kehendak dari laki – laki saja.
Dalam hal ini, perempuan di paksah oleh laki – laki yang membawanya (Zainuddin,Ridwan.2005:8).
Menurut Moh Said, Kawin nillariang adalah perkawinan yang
terjadi setelah seorang laki – laki dan seorang perempuan dengan paksa atau
bertentangan dengan kehendaknya (Zainuddin,Ridwan.2005:8).
Perkawinan nillariang ini di laksanakan bukan atas kehendak perempuan.
Perempuan disini dibawah paksa oleh laki – laki yang ingin mengawininya, apakah
itu dilakukan dengan cara menculik atau dengan cara tipu daya
(Zainuddin,Ridwan.2005:8).
Kadang ada seorang laki – laki
sangat mencintai seorang perempuan. Tetapi tidak melakukan atau melamar, selalu
di cuekin atau di sepelekan, yang membuat laki – laki itu tersinggung. Dalam kondisi
demikian laki – laki tersebut menyusun strategi, bagaimana anak gadinya itu
bisa dibawah lari (Zainuddin,Ridwan.2005:9).
c.
Erang
Kale
Menurut Muh Natsir Said, Kawin erang
kale adalah berasal dari kata Erang artinya
bawa dan Kale berarti diri. Jadi erang kale berarti apabila
gadis itu membawah dirinya ke rumah pemuda, sehingga menimbulkan siri bagi keluarganya (Zainuddin,Ridwan.2005:10).
Lain halnya dengan perkawinan erang
kale adalaha kebalikan dari kawin nillariang.
Kawin erang kale, kehendak untuk
kawin dari kaum perempuan. Mungkin perempuan ini pernah digauli oleh pihak laki
– laki pilihannya. Karena si perempuan itu takut oleh sanksi adat dari
keluarganya yang disebut tumma siri. Dengan perasaan takut ketahuan hamil, maka
siperempuan lari kerumah laki – laki yang pernah menggaulinya
(Zainuddin,Ridwan.2005:10).
Laki – laki yang telah didatangi oleh perempuan erang kale ini juga
tidak bisa menolak kedatangannya. Sebab keluarganya perempuan telah menganggap
anaknya anyyala (kawin lari )
sehingga mau tidak mau harus bertanggung jawab, atas larinya perempuan itu
(Zainuddin,Ridwan.2005:10).
Bila laki – laki itu sudah tau dirinya sudah punya tanggung jawab, maka
ia segera membawa perempuan tersebut ke rumah penghulu untuk segera dinikahkan.
Sebab bila laki – laki sudah kedatangan tamu perempuan yang pernah di gaulinya
dia tidak bisa berbuat apa – apa.
Kalaupun menolak untuk bertanggung jawab, tetapi pihak keluarganya
tidak mau tau urusan itu. Para keluarga perempuan tetap meminta supaya laki –
laki itu bartanggung jawab (Zainuddin,Ridwan.2005:10).
Kadang juga terjadi, perempuan itu digauli oleh beberapa orang laki –
laki, misalnya laki – laki A, B, dan C,
tetapi saat mereka manggauli belum ada tanda – tanda perempuan itu hamil.
Terakhir perempuan itu di gauli oleh D. karena laki – laki A,B,C sudah tidak
ada di kampunya, maka untuk memudahkan, perempuan itu menunjuk si D untuk bertanggung
jawab, ini dalam bahasa Makassar tersebut natappuki
samba se’ro / diputuskan tali timbah(Zainuddin,Ridwan.2005:11).
Natappuki samba se’ro maksudnya, perempuan yang sudah digauli oleh
beberapa laki – laki itu sebenarnya tinggal menunggu korban saja. Kebetulan
yang terakhir pakai timba tali hampir putus dan mau tak mau ia harus
bertanggung jawab (Zainuddin,Ridwan.2005:11).
d.
Annyala
Kalotoro
Annyala
kalotoro ini salah satu bentuk perkawinan yang menimbulkan siri’ bagi keluarga perempuan, perempuan yang kawin lari tanpa ada
laki – laki yang diunjuk untuk bertanggung jawab (Zainuddin,Ridwan.2005:14).
Ini
biasanya terjadi bagi perempuan yang sering keluar malam mencari hawa segar.
Banyak laki – laki yang pernah menggaulinya, sehingga sulit baginya menunjuk
salah satunya dan kadang tidak ada yang dikenal diantara mereka. Untuk
menyelamatkan jiwa dari sanksi adat, si perempuan itu lari kerumah imam tanpa
ada laki – laki yang membawanya (Zainuddin,Ridwan.2005:14).
Untuk
menyelamatkan perempuan itu agar terhindar dari sanksi adat yang
berkepanjangan, maka biasanya imam menunjuk laki – laki yang siapa yang mau
bertanggung jawab. Walaupun hanya sekedar nikah saja tetapi setelah berdamai (abbaji) dengan pihak keluarga perempuan
lalu mereka cerai atau diteruskan perkawinannya
(Zainuddin,Ridwan.2005:14).
Penunjukan
seorang laki – laki untuk menyelamatkan perkawinan dari perempuan annyala kalotoro disebut kawin pattongko’ siri’ atau pajjempang siri
(Zainuddin,Ridwan.2005:15).
e.
Akibat
Annyala
Baik sillariang, nillariang, erangkale, annyala kalotoro sama – sama
menimbulkan akibat, baik bagi pelaku meupun keluarganya. Sebab jenis perkawinan
seperti ini dibenci oleh masyarakat, karena itu terutama pihak keluarga
perempuan. Karena itu mereka sering mengambil tindakan yang kadang berakibat
fatal pada pelaku annyala itu (Zainuddin,Ridwan.2005:17).
Bagi suku Bugis – Makassar, siri’ adalah bagian dari kehidupanya.
Bilamana hidup tanpa siri’ maka orang
tersebut hidupnya tidak lebih dari binatang (Zainuddin,Ridwan.2005:17).
Abd. Haris Dg Ngasa menceritakan, siri’ itu adalah singkatan dari sikedde
rinring (sedikit dinding) maksudnya sifat pembatas antara sifat manusia dengan
sifat binatang itu hanya sedikit sekali, yakni siri’ (harga diri). Orang yang tidak punya harga diri sama dengan
binatang (Zainuddin,Ridwan.2005:17).
Melakukan anyyala/sillariang akan dikenakan sanksi adat, yakni pembunuhan
atau diputuskan tali silatuhrahmi (nimateangi).
Makak pihak perempuan disebut Tumasiri’.
Pelaku sillariang disebut tumanyalla
(Zainuddin,Ridwan.2005:17).
Dari segi kaca mata hukum adat,
wanita adalah mahkota dalam suatu rumah tangga. Manakala mahkota rumah tangga
dirusak oleh orang lain, maka pihak keluarga yang merasa dipermalukan berhak
menuntut balas (Zainuddin,Ridwan.2005:119).
Tindakan pembalasan dari pihak tumasiri’ ini sering berakibat fatal
bagi tummanyala, yakni sering
menimbulkan korban dimana luka berat maupun menyebabkan kematian, jika terjadi
penyerangan secara tiba – tiba oleh pihak tumasiri kepada
tummanyala disitulah sering barakibat fatal itu dikarenakan pihak tumasiri selalu siap dengan badik di
pinggangnya begitu pula sebaliknya (Zainuddin,Ridwan.2005:19).
f.
Menghindari Sanksi Adat
Sanksi adat yang ditujukan pada pelaku annyala memang
kejam, yakni bisa terjadi pembunuhan atau luka berat, tetapi bagi orang – orang
aturan adat istiadat, mereka harus tau aturan main yang berlaku
(Zainuddin,Ridwan.2005:42)
Dalam hukum adat Makassar, bilamana tumannyala
diserang oleh tumasirinya. Bisa meminta perlindungan dengan rumah yang ada
disekitarnya. Apakah mereka memasuki rumah tersebut atau yang paling gampang
cukup melemparkan peci atau apa yang melekat pada dirinya masuk kedalam
pekarangan rumah seseorang. Bila hal itu dilakukan, maka pihak tumasiri’ tidak
bisa lagi menyerangnya. Salah besar kalau tumannyalasudah melakukan penyerangan
saat minta perlindungan (Zainuddin,Ridwan.2005:42).
Drs. H. Amir Hamzah Tika, jelakan bila tumannyala diburu di tengah persawahan,
bila sawah itu tidak ada tanamannya, maka celakalah tumannyalla, karena tidak
ada perlindungan baginya. Walaupun itu turun kesawah, itu namanya bukanlah
minta perlindungan. Tetapi kalau ada tanaman di dalamnya, misalnya padi, maka
bila tumannyalla turun ke sawah yang ada tanamannya itu di anggap sudah minta
perlindungan dan tumasiri’ tidak bisa mengambil tindakan kepada tumannyala itu.
Kecuali kalau terus lari di atas pematang. Bilamana tumasiri’ membunuhnya. Maka
tidak ada sanksi adat baginya. Hak meminta perlindungan tumannyala terhadap
orang sekitarnya itu di sebut hak asyl / ayulun (Zainuddin,Ridwan.2005:44).
Cara
lain untuk menghindari sanksi adat berupa pembunuhan terhadap tumannyala,
bilamana ada pernyataan dari orang tua untuk memutus hubungan silatuhrahmi
dengan anaknya atau nimateyangi (anaknya sudah dianggap mati). Bilamana ada
pernyataan orang tua nimateangi anaknya, menurut Haris Dg Ngasa, maka anak
sudah di anggap orang lain (Zainuddin,Ridwan.2005:42).
Menurut Dr. Muh. Natsir Said,
dalam buku sillariang ada lima macam pertanyaan Nimateangi anaknya yang
melakukan annyala yakni :
Ø Tenamo
anakku ri lino na ri ahera ( saya tidak mengakui anak saya baik di dunia maupun
di akhirat)
Ø Nimateangi
(dinyatakan mati)
Ø Natallaki
ana’na (anaknya ditalak)
Ø Nipapisabbiyangi
ri nabbiya (penyaksian kepada nabi)
Pernyataan nimateangi dinyatakan
di dalam masjid di dalam masjid dan disaksikan oleh imam dan orang orang
terkemuka dari adat Gemenschap, juga dapat dilakukan dirumah. Bersama dengan
itu dilakukan selamatan (Zainuddin,Ridwan.2005:45).
Pelaksanaan ini dilakukan dengan
pembacaan ayat suci Al – Qur’an dan dilakukan acara membaca doa dengan
mempersembahkan pisang (ninipamaccang unti). Maka kewajiban untuk menjatuhkan
sanksi dari tumasiri’ terhadap tumannyala dengan sendirinya hilang
(Zainuddin,Ridwan.2005:45).
g. Penyebab
annyala
Dari hasil
investigasi dari beberapa pelaku sillariang, berbagai alasan yang di kemukakannya
menyebabkan mereka melakukan sillariang :
a.
Menetang kawin paksa
Berbicara kawin paksa, pasti kita teringat pada Roman
Siti Nurbaya yang mengisahkan perkawinan paksa antara Siti Nurbaya dengan Datuk
Maringgi, cerita seperti ini sering terulang pada anak gadis, dimana orang tua
punya pilihan lain untuk jodoh anaknya, tetapi anak juga punya pilihan sendiri.
Orang tua memaksakan kawin dengan pemuda pilihannya, tetapi sigadis tetap
ngotot tidak mau. Ia memilih lebih cepat mati dari pada kawin dengan pemuda
pilihan orang tuanya. Dalam kondisi terjepit seperti itu, sang gadis memilih
kabur bersama pacarnya (Zainuddin,Ridwan.2005:23).
b.
Karena terpaksa
Misalnya berkenalan kemudian pacaran, lama – lama
berhubungan intim seperti layaknya suami istri. Kontak pertama sangat
mengesankan, begitu pula kontak kedua dan seterusnya. Namun beberapa bulan
kemudian, membuat gadis itu hamil (Zainuddin,Ridwan.2005:25).
Si gadis hamil, orang tuapun tak setuju dengan pemuda
itu atau sigadis itu sendiri takut pada orang tuanya yang menyebabkan mereka
harus sillariang dengan pacarnya (Zainuddin,Ridwan.2005:25).
c.
Karena factor ekonomi
Menurut adat perkawinan suku Bugis Makassar, sebelum
melakukan suatu perkawinan. Terlebih dahulu pihak laki – laki melamar yang
disertai dengan persyaratan berupa uang belanja (Doe Panai) berikut mahar dan
mas kawin serta beberapa persyaratan lainnya, bilamana persyaratan yang
ditetapkan oleh pihak perempuan tak bisa dipenuhi oleh pihak laki – laki,
karena kondisi ekonominya memang tidak memungkinkan, yang bisa menyebabkan
perkawinan batal. Sedang di sisilain, keduanya sudah saling menyita, maka
mereka bisa saja menempuh sillariang(Zainuddin,Ridwan.2005:27).
d.
Lamaran ditolak
Orang tua dari pihak perempuan menolak lamaran dari
laki – laki yang mau melamar anak gadisnya, bukanlah ditolak tanpa alasan. Dari
hasil investigasi di lapangan, banyak hal – hal yang menyebabkan sehingga
lamaran dari pihak laki – laki itu ditolak (Zainuddin,Ridwan.2005:29).
Dr . H. Hamzah Tika Dg. Sanre, salah seorang tokoh masyarakat
Gowa mengatakan, kebiasaan orang tua dimasa lalu dalam menolak lamaran laki –
laki, dilakukan secara halus dan penuh makna simbolis. Seperti menyuguhkan
makanan ubi dan air teh tak bergula, itu berarti pertanda lamaran ditolak.
Karena makanan yang disuguhkan rasanya hambar, pertanda pula lamaran laki –
laki bertepuk sebelah tangan (Zainuddin,Ridwan.2005:29).
Tetapi bila yang disajikan itu berupa bubur kacang
(je’ne uring tajammeng) pertanda lamaran diterima (Zainuddin,Ridwan.2005:29).
(Laporan Pendidikan Awal Angkatan POKE)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar