Senin, 12 November 2012

ANYYALA

ANYYALA
Pengertian Annyala

Anyala dalam terminologi Makassar diartikan sebagai ‘kebersalahan’. Biasa kita mendengar ucapan, ‘ anjo bura’ne annyala’ (itu lelaki bersalah) atau ‘anjo baine annyala’ (itu perempuan bersalah), maka yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah kebersalahan dalam konteks perkawinan. Karena itu, biasanya pula orang tua kita yang mendengarkan perkataan seperti itu, tidak lantas meneruskan pertanyaannya karena sangat sadar bahwa kalimat tersebut didalamnya mengandung konsekuensi rasa malu dan taruhan harga diri / Siri’ (http://daenggassing.com diakses pada tanggal 12 november 2012).

Proses perkawinan yang mengandung rasa malu dan taruhan harga diri adalah proses perkawinan yang terjadi karena ‘nipakatianang’ (hamil sebelum nikah). Keadaan demikian ini dapat menimbulkan dan memungkinkan, yaitu : kawin secara adat dan annyala (http://daenggassing.com diakses pada tanggal 12 november 2012).

Kawin secara adat terlaksana apabila kehamilan si perempuan (tau-nipakatiananga) belum tersebar, tapi baru diketahui ibu dan kerabat ibu yang terdekat sehingga mereka ini secara rahasia (tidak diketahui oleh tu-masirik perempuan yang hamil) menghubungi keluarga tumapakasiri’agar dalam waktu singkat perkawinan dapat dilansungkan melalui prosedur yang biasa. Kedua belah pihak berusaha menutupi dan melindungi rahasia demi nama baik kedua keluarga. Bilamana perkawinan secara adat tidak terlaksana, maka terjadi prosedur yang sama dengan Annyala, dimana keadaan perempuan telah menyedihkan karena si lelaki tidak bertanggung jawab / menghilang. Si perempuan yang berlindung kepada imam atau kadhi dinikahkan dengan seorang lelaki yang niatnya darurat. Lelaki yang menikahi seorang perempuan karena terlebih dahulu hamil yang sebelumnya tidak ada hubungan di sebut kawin pattongkok sirik (kawin penutup malu, si perempuan yang bernasib sial ini oleh orang tuanya / kerabatnya “nimateammi” / dianggap sudah mati (http://daenggassing.com diakses pada tanggal 12 november 2012).

Dalam pandangan adat, anak yang dilahirkan kelak disebut ana’bule (anak haram jadah). Anak ini bila hidup sampai dewasa sangat sulit kehidupannya dalam masyarakat karena seolah – olah dialah yang harus menanggung segala kesalahan dan dosa orang tuanya. Hal ini berbeda dalam pandangan agama, bahwa si anak tidaklah berdosa sama sekali, tidak pula mewarisi dosa orang tuanya, setiap anak terlahir dalam keadaan suci, orang tuanyah sendir yang menanggung dosa yang telah diperbuatnya (http://daenggassing.com diakses pada tanggal 12 november 2012).

Macam – macam Annyala
Dalam pandangan adat. Annyala (kebersalahan dalam perkawinan) dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu:

  a.      Sillariang
Sillariang ialah dua orang yang saling mencintai, sama – sama lari dari keluarganya pada masyarakat Bugis – Makassar, kawin lari (sillariang) merupakan hal yang tidak direstui bahkan menjadi aib dalam masyarakat. Terjadinya kawin lari biasanya dikarenakan uang belanja perkawinan (maskawin/ Sunrang) yang ditentukan oleh pihak keluarga si gadis terlampau tinggi, biasa juga terjadi karena keluarga sigadis tidak menyetujui pihak keluarga laki – laki, baik calon menantunya maupun calon besannya, misalnya karena perbedaan status sosial. Walaupun kedua pasangan sillariang ini menyadari, bahwa tindakan sillariang ini penuh dengan resiko, tetapi itulah jalan terbaik baginya untuk menimbah rumah tangga dengan kekasihnya kelak (Zainuddin,Ridwan.2005:1)

Untuk mengetahui jelas apa arti sillariang ini akan dikemukakan beberapa pendapat ahli budaya, baik dalam maupun luar negeri (Zainuddin,Ridwan.2005:1).

Dr.T.H Chabot dalam bukunya Verwatenschap Standen Sexe in Zuid Celebes mengatakan, Perkawinan sillariang  ketika gadis / perempuan dengan pemuda / laki – laki lari bersama atas kehendak bersama (Zainuddin,Ridwan.2005:1).

Dari pendapat para pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa Sillariang itu unsur – unsurnya sebagai berikut :

1.      Dilakukan sepasang laki – laki dan perempuan
2.      Sepakat lari bersama untuk nikah
3.      Menimbulkan Siri’ dan dikenakan sanksi

  b.      Nillariang
Kalau perkawinan sillariang  dilakukan dengan kehendak bersama dari kedua pelaku maka pada kawin nillariang  dilakukan atas kehendak dari laki – laki saja. Dalam hal ini, perempuan di paksah oleh laki – laki yang membawanya (Zainuddin,Ridwan.2005:8).

Menurut Moh Said, Kawin nillariang adalah perkawinan yang terjadi setelah seorang laki – laki dan seorang perempuan dengan paksa atau bertentangan dengan kehendaknya (Zainuddin,Ridwan.2005:8).

Perkawinan nillariang ini di laksanakan bukan atas kehendak perempuan. Perempuan disini dibawah paksa oleh laki – laki yang ingin mengawininya, apakah itu dilakukan dengan cara menculik atau dengan cara tipu daya (Zainuddin,Ridwan.2005:8).

Kadang ada seorang laki – laki sangat mencintai seorang perempuan. Tetapi tidak melakukan atau melamar, selalu di cuekin atau di sepelekan, yang membuat laki – laki itu tersinggung. Dalam kondisi demikian laki – laki tersebut menyusun strategi, bagaimana anak gadinya itu bisa dibawah lari (Zainuddin,Ridwan.2005:9).

  c.       Erang Kale
Menurut Muh Natsir Said, Kawin erang kale adalah berasal dari kata Erang artinya bawa dan Kale  berarti diri. Jadi erang kale  berarti apabila gadis itu membawah dirinya ke rumah pemuda, sehingga menimbulkan siri  bagi keluarganya (Zainuddin,Ridwan.2005:10).

Lain halnya dengan perkawinan erang kale adalaha kebalikan dari kawin nillariang. Kawin erang kale, kehendak untuk kawin dari kaum perempuan. Mungkin perempuan ini pernah digauli oleh pihak laki – laki pilihannya. Karena si perempuan itu takut oleh sanksi adat dari keluarganya yang disebut tumma siri. Dengan perasaan takut ketahuan hamil, maka siperempuan lari kerumah laki – laki yang pernah menggaulinya (Zainuddin,Ridwan.2005:10).

Laki – laki yang telah didatangi oleh perempuan erang kale ini juga tidak bisa menolak kedatangannya. Sebab keluarganya perempuan telah menganggap anaknya anyyala (kawin lari ) sehingga mau tidak mau harus bertanggung jawab, atas larinya perempuan itu (Zainuddin,Ridwan.2005:10).

Bila laki – laki itu sudah tau dirinya sudah punya tanggung jawab, maka ia segera membawa perempuan tersebut ke rumah penghulu untuk segera dinikahkan. Sebab bila laki – laki sudah kedatangan tamu perempuan yang pernah di gaulinya dia tidak bisa berbuat apa – apa.

Kalaupun menolak untuk bertanggung jawab, tetapi pihak keluarganya tidak mau tau urusan itu. Para keluarga perempuan tetap meminta supaya laki – laki itu bartanggung jawab (Zainuddin,Ridwan.2005:10).

Kadang juga terjadi, perempuan itu digauli oleh beberapa orang laki – laki, misalnya laki – laki A, B, dan  C, tetapi saat mereka manggauli belum ada tanda – tanda perempuan itu hamil. Terakhir perempuan itu di gauli oleh D. karena laki – laki A,B,C sudah tidak ada di kampunya, maka untuk memudahkan, perempuan itu menunjuk si D untuk bertanggung jawab, ini dalam bahasa Makassar tersebut natappuki samba se’ro / diputuskan tali timbah(Zainuddin,Ridwan.2005:11).

                Natappuki samba se’ro maksudnya, perempuan yang sudah digauli oleh beberapa laki – laki itu sebenarnya tinggal menunggu korban saja. Kebetulan yang terakhir pakai timba tali hampir putus dan mau tak mau ia harus bertanggung jawab (Zainuddin,Ridwan.2005:11).

  d.      Annyala Kalotoro
Annyala kalotoro ini salah satu bentuk perkawinan yang menimbulkan siri’ bagi keluarga perempuan, perempuan yang kawin lari tanpa ada laki – laki yang diunjuk untuk bertanggung jawab (Zainuddin,Ridwan.2005:14).

Ini biasanya terjadi bagi perempuan yang sering keluar malam mencari hawa segar. Banyak laki – laki yang pernah menggaulinya, sehingga sulit baginya menunjuk salah satunya dan kadang tidak ada yang dikenal diantara mereka. Untuk menyelamatkan jiwa dari sanksi adat, si perempuan itu lari kerumah imam tanpa ada laki – laki yang membawanya (Zainuddin,Ridwan.2005:14).

Untuk menyelamatkan perempuan itu agar terhindar dari sanksi adat yang berkepanjangan, maka biasanya imam menunjuk laki – laki yang siapa yang mau bertanggung jawab. Walaupun hanya sekedar nikah saja tetapi setelah berdamai (abbaji) dengan pihak keluarga perempuan lalu mereka cerai atau diteruskan perkawinannya  (Zainuddin,Ridwan.2005:14).

Penunjukan seorang laki – laki untuk menyelamatkan perkawinan dari perempuan annyala kalotoro disebut kawin pattongko’ siri’ atau pajjempang siri (Zainuddin,Ridwan.2005:15).

  e.      Akibat Annyala
Baik sillariang, nillariang, erangkale, annyala kalotoro sama – sama menimbulkan akibat, baik bagi pelaku meupun keluarganya. Sebab jenis perkawinan seperti ini dibenci oleh masyarakat, karena itu terutama pihak keluarga perempuan. Karena itu mereka sering mengambil tindakan yang kadang berakibat fatal pada pelaku annyala itu (Zainuddin,Ridwan.2005:17).

Bagi suku Bugis – Makassar, siri’ adalah bagian dari kehidupanya. Bilamana hidup tanpa siri’ maka orang tersebut hidupnya tidak lebih dari binatang (Zainuddin,Ridwan.2005:17).

Abd. Haris Dg Ngasa menceritakan, siri’ itu adalah singkatan dari sikedde rinring (sedikit dinding) maksudnya sifat pembatas antara sifat manusia dengan sifat binatang itu hanya sedikit sekali, yakni siri’ (harga diri). Orang yang tidak punya harga diri sama dengan binatang (Zainuddin,Ridwan.2005:17).

Melakukan anyyala/sillariang akan dikenakan sanksi adat, yakni pembunuhan atau diputuskan tali silatuhrahmi (nimateangi). Makak pihak perempuan disebut Tumasiri’. Pelaku sillariang disebut tumanyalla (Zainuddin,Ridwan.2005:17).

Dari segi kaca mata hukum adat, wanita adalah mahkota dalam suatu rumah tangga. Manakala mahkota rumah tangga dirusak oleh orang lain, maka pihak keluarga yang merasa dipermalukan berhak menuntut balas (Zainuddin,Ridwan.2005:119).

Tindakan pembalasan dari pihak tumasiri’ ini sering berakibat fatal bagi tummanyala, yakni sering menimbulkan korban dimana luka berat maupun menyebabkan kematian, jika terjadi penyerangan secara tiba – tiba oleh pihak tumasiri  kepada tummanyala disitulah sering barakibat fatal itu dikarenakan pihak tumasiri selalu siap dengan badik di pinggangnya begitu pula sebaliknya (Zainuddin,Ridwan.2005:19).

  f.        Menghindari Sanksi Adat
Sanksi adat yang ditujukan pada pelaku annyala memang kejam, yakni bisa terjadi pembunuhan atau luka berat, tetapi bagi orang – orang aturan adat istiadat, mereka harus tau aturan main yang berlaku (Zainuddin,Ridwan.2005:42)

Dalam hukum adat Makassar, bilamana tumannyala diserang oleh tumasirinya. Bisa meminta perlindungan dengan rumah yang ada disekitarnya. Apakah mereka memasuki rumah tersebut atau yang paling gampang cukup melemparkan peci atau apa yang melekat pada dirinya masuk kedalam pekarangan rumah seseorang. Bila hal itu dilakukan, maka pihak tumasiri’ tidak bisa lagi menyerangnya. Salah besar kalau tumannyalasudah melakukan penyerangan saat minta perlindungan (Zainuddin,Ridwan.2005:42).

Drs. H. Amir Hamzah Tika, jelakan  bila tumannyala diburu di tengah persawahan, bila sawah itu tidak ada tanamannya, maka celakalah tumannyalla, karena tidak ada perlindungan baginya. Walaupun itu turun kesawah, itu namanya bukanlah minta perlindungan. Tetapi kalau ada tanaman di dalamnya, misalnya padi, maka bila tumannyalla turun ke sawah yang ada tanamannya itu di anggap sudah minta perlindungan dan tumasiri’ tidak bisa mengambil tindakan kepada tumannyala itu. Kecuali kalau terus lari di atas pematang. Bilamana tumasiri’ membunuhnya. Maka tidak ada sanksi adat baginya. Hak meminta perlindungan tumannyala terhadap orang sekitarnya itu di sebut hak asyl / ayulun (Zainuddin,Ridwan.2005:44).

Cara lain untuk menghindari sanksi adat berupa pembunuhan terhadap tumannyala, bilamana ada pernyataan dari orang tua untuk memutus hubungan silatuhrahmi dengan anaknya atau nimateyangi (anaknya sudah dianggap mati). Bilamana ada pernyataan orang tua nimateangi anaknya, menurut Haris Dg Ngasa, maka anak sudah di anggap orang lain (Zainuddin,Ridwan.2005:42).

Menurut Dr. Muh. Natsir Said, dalam buku sillariang ada lima macam pertanyaan Nimateangi anaknya yang melakukan annyala yakni :

 Ø  Tenamo anakku ri lino na ri ahera ( saya tidak mengakui anak saya baik di dunia maupun di akhirat)
 Ø  Nimateangi (dinyatakan mati)
 Ø  Natallaki ana’na (anaknya ditalak)
 Ø  Nipapisabbiyangi ri nabbiya (penyaksian kepada nabi)
   
Pernyataan nimateangi dinyatakan di dalam masjid di dalam masjid dan disaksikan oleh imam dan orang orang terkemuka dari adat Gemenschap, juga dapat dilakukan dirumah. Bersama dengan itu dilakukan selamatan (Zainuddin,Ridwan.2005:45).
Pelaksanaan ini dilakukan dengan pembacaan ayat suci Al – Qur’an dan dilakukan acara membaca doa dengan mempersembahkan pisang (ninipamaccang unti). Maka kewajiban untuk menjatuhkan sanksi dari tumasiri’ terhadap tumannyala dengan sendirinya hilang (Zainuddin,Ridwan.2005:45).
  
  g.       Penyebab annyala

Dari hasil investigasi dari beberapa pelaku sillariang, berbagai alasan yang di kemukakannya menyebabkan mereka melakukan sillariang :

a.       Menetang kawin paksa
Berbicara kawin paksa, pasti kita teringat pada Roman Siti Nurbaya yang mengisahkan perkawinan paksa antara Siti Nurbaya dengan Datuk Maringgi, cerita seperti ini sering terulang pada anak gadis, dimana orang tua punya pilihan lain untuk jodoh anaknya, tetapi anak juga punya pilihan sendiri. Orang tua memaksakan kawin dengan pemuda pilihannya, tetapi sigadis tetap ngotot tidak mau. Ia memilih lebih cepat mati dari pada kawin dengan pemuda pilihan orang tuanya. Dalam kondisi terjepit seperti itu, sang gadis memilih kabur bersama pacarnya (Zainuddin,Ridwan.2005:23).

b.      Karena terpaksa
Misalnya berkenalan kemudian pacaran, lama – lama berhubungan intim seperti layaknya suami istri. Kontak pertama sangat mengesankan, begitu pula kontak kedua dan seterusnya. Namun beberapa bulan kemudian, membuat gadis itu hamil (Zainuddin,Ridwan.2005:25).

Si gadis hamil, orang tuapun tak setuju dengan pemuda itu atau sigadis itu sendiri takut pada orang tuanya yang menyebabkan mereka harus sillariang dengan pacarnya (Zainuddin,Ridwan.2005:25).

c.       Karena factor ekonomi
Menurut adat perkawinan suku Bugis Makassar, sebelum melakukan suatu perkawinan. Terlebih dahulu pihak laki – laki melamar yang disertai dengan persyaratan berupa uang belanja (Doe Panai) berikut mahar dan mas kawin serta beberapa persyaratan lainnya, bilamana persyaratan yang ditetapkan oleh pihak perempuan tak bisa dipenuhi oleh pihak laki – laki, karena kondisi ekonominya memang tidak memungkinkan, yang bisa menyebabkan perkawinan batal. Sedang di sisilain, keduanya sudah saling menyita, maka mereka bisa saja menempuh sillariang(Zainuddin,Ridwan.2005:27).

d.      Lamaran ditolak
Orang tua dari pihak perempuan menolak lamaran dari laki – laki yang mau melamar anak gadisnya, bukanlah ditolak tanpa alasan. Dari hasil investigasi di lapangan, banyak hal – hal yang menyebabkan sehingga lamaran dari pihak laki – laki itu ditolak (Zainuddin,Ridwan.2005:29).

Dr . H. Hamzah Tika Dg. Sanre, salah seorang tokoh masyarakat Gowa mengatakan, kebiasaan orang tua dimasa lalu dalam menolak lamaran laki – laki, dilakukan secara halus dan penuh makna simbolis. Seperti menyuguhkan makanan ubi dan air teh tak bergula, itu berarti pertanda lamaran ditolak. Karena makanan yang disuguhkan rasanya hambar, pertanda pula lamaran laki – laki bertepuk sebelah tangan (Zainuddin,Ridwan.2005:29).

Tetapi bila yang disajikan itu berupa bubur kacang (je’ne uring tajammeng) pertanda lamaran diterima (Zainuddin,Ridwan.2005:29).

(Laporan Pendidikan Awal Angkatan POKE)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar